oleh

Begal dan Solusi Polmas

image_pdfimage_print

Kabar6-Dalam sebulan terakhir, isu tentang aksi begal kembali marak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Oleh: Gatot Hendro Hartono, SE

Aksi pembegalan sangat meresahkan masyarakat dalam melakukan aktifitas sehari-hari sehingga menjadi sorotan dari berbagai kalangan, khususnya aparat kepolisian, sebagai penanggungjawab kamtibmas di tengah masyarakat.

Aksi begal merupakan sebuah jaringan, sindikat, dan komplotan yang terorganisir dan melakukan aksinya secara sistematis di berbagai kota serta melibatkan pelaku, penadah, dan mafia kejahatan jalanan lainnya.

Aksi begal merupakan salah satu jenis kejahatan jalanan (street crimes) yang terjadi sejak lama, namun kadangkala mengalami pasang surut dalam melakukan aksi kejahatannya.

Aksi begal yang marak saat ini dilakukan dengan sasaran utama para pengemudi sepeda motor roda dua yang kemudian melukai pengendaranya dan merampas motor serta barang berharga yang dimiliki orang korban.

Aksi begal ini sangat mengerikan karena diwarnai dengan cara-cara kekerasan seperti penembakan, pembacokan, pemukulan, dan aksi-aksi mematikan lainnya sehingga tidak jarang korbannya mengalami luka ringan, luka berat sampai dengan meninggal dunia.

“Lingkaran Setan”

Dalam perspektif kriminologi, ada salah satu pendapat yang menyatakan bahwa kejahatan terjadi di tengah masyarakat, berasal dari masyarakat, dan oleh masyarakat.

Artinya, kejahatan merupakan sebuah dampak dari proses sosial yang wajar terjadi ketika struktur sosial masyarakat mengalami ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran.

Secara umum, kejahatan jalanan bersifat struktural dan kultural, dimana terdapat penyebab dan dampak yang ditimbulkan. Inilah yang kemudian disebut dengan semacam lingkaran setan kejahatan jalanan.

Aksi begal merupakan sebuah lingkaran setan kejahatan jalanan. Dimulai dari kondisi sosial yang timpang, miskin, dan pengangguran, kemudian menyebabkan terjadinya aksi kriminalitas berupa pembegalan salah satunya.
Terjadinya pembegalan mendorong Polri untuk melakukan langkah penegakan hukum baik dalam tahapan preemtif, preventif dan represif (penegakan hukum).

Akar masalah begal adalah kebutuhan ekonomi, urusan perut dan urusan yang bersifat materialistik, sehingga apapun yang dilakukan oleh Polri dalam melakukan sosialisasi kamtibmas, patroli jalan raya, dan penyidikan terhadap para pelaku dan tersangka hanya bersifat temporer sehingga tidak akan menyentuh akar persoalan penyebab aksi begal di tengah masyarakat.

Ancaman Kamtibmas

Maraknya aksi begal sekarang ini tentunya sangat mengancam situasi dan kondisi kamtibmas. Aksi kriminalitas jalanan ini mengganggu aktifitas masyarakat, mengancam jiwa manusia, melanggar hukum, dan menimbulkan kekacauan dalam kegiatan ekonomi di tengah masyarakat.

Kamtibmas yang terganggu akan mengancam stabilitas nasional dan pembangunan nasional, sehingga diperlukan sinergitas berbagai pihak dalam melakukan pencegahan dan penanganan terhadap aksi begal ini.

Hal ini selaras dengan teori jendela pecah (theory of broken windows), dimana apabila satu kejahatan dibiarkan, maka akan muncul kejahatan lainnya yang lebih besar, masif, dan berbahaya.

Kejahatan begal merupakan salah satu entitas kecil dari kejahatan jalanan, namun apabila tidak diantisipasi secara cepat dan tepat, maka akan menimbulkan kejahatan baru dengan modus operandi, sasaran, dan target yang lebih luas dan komplek.

Artinya, diperlukan strategi jangka pendek, berupa penegakan hukum yang tegas terhadap aksi begal sehingga akan menimbulkan efek jera (deterrence) bagi sindikat begal yang lain dan menghindari aksi main hakim sendiri oleh warga karena kurang percaya terhadap jaminan keamanan yang diberikan oleh Polri.

Selain itu, dalam jangka panjang, pencarian solusi yang menyentuh akar masalah terjadinya aksi begal, berupa kebijakan ekonomi yang pro rakyat sehingga mampu mengentaskan kemiskinan, membebaskan pengangguran, dan menghapuskan ketimpangan sosial.

“Resep” Polmas

Dalam perspektif Polri, setiap aksi kejahatan baik kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi, tidak dapat dilakukan secara sendirian oleh Polri.

Polri memerlukan kerjasama, kemitraan, sinergitas dan pelibatan dari berbagai stakeholder terkait dalam menangani setiap aksi kejahatan, termasuk kejahatan jalanan, khususnya kejahatan begal.

Untuk mencegah aksi begal, Polri mengembangkan mekanisme baru berupa community policing (perpolisian masyarakat, polmas).  Secara filosofis, Polmas adalah konsepsi yang ingin menjadikan masyarakat sebagai “polisi’ bagi diri dan lingkungannya sendiri.

Secara sosiologis, Polmas ada mekanisme sistem deteksi dini, sistem peringatan dini, dan sistem tangkal dini yang dibangun oleh masyarakat untuk mencegah, meredam dan menangkis segala potensi kejahatan begal di tengah masyarakat, melalui pemberdayaan kearifan lokal, seperti pemberdayaan siskamling, pos kamling, dan ronda keliling di lingkungannya masing-masing.

Aksi begal tidak dapat diberantas hanya oleh Polri semata mengingat jumlah anggota Polri yang sangat terbatas sehingga tidak bisa digelar di setiap RT, RW, dan Kelurahan/ Desa.

Diperlukan partisipasi masyarakat di lingkungannya masing-masing untuk melakukan sistem pengamanan lingkungan (sispamling) secara rutin mengingat masyarakat lah yang tahu kondisi geografis, demografis dan kultur sosial di lingkungannya masing-masing, dimana Polri melakukan pembinaan dan pengawasan secara intensif.

Metode Polmas harus dijadikan “resep” dalam menangani aksi kejahatan begal sehingga segala potensi dan kemungkinan akan terjadinya aksi begal sudah dapat dicegah karena adanya kewaspadaan masyarakat dan kepedulian keamanan lingkungan masing-masing.

Kita semua harus ingat bahwa aksi begal terjadi saat masyarakat lengah dan kurang awas, sehingga diperlukan peningkatan kewaspadaan, kepedulian, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Kesadaran masyarakat terhadap keamanan lingkungan  ini tentunya harus dibina oleh sinergitas “tiga pilar” kamtibmas di tengah masyarakat paling bawah, yakni Bhabinkamtibmas (Polri), Babinsa (TNI), dan Kepala Desa/Lurah (Pemerintah).

* Penulis adalah Kapolsek Kelapa Dua Polresta Tangerang (Periode Juli 2014 s/d April 2015) dan Pasis Sespimmen Polri Dikreg-55.

Print Friendly, PDF & Email